Dasar dari Filsafat adalah Metafisika. Metafisika
dibagi menjadi METAFISIKA UMUM disebut dengan ONTOLOGI, dan METAFISIKA
KHUSUS yang terdiri dari KOSMOLOGI, FILSAFAT MANUSIA atau ANTROPOLOGI
METAFISIK dan FILSAFAT KETUHANAN atau TEODICEA.
Di antara
tema-tema METAFISIKA UMUM yang paling banyak melahirkan kontroversi
adalah problema YANG ADA. Sebab hakikatnya terasa ribet dan ruwet. Hal
ini lantaran YANG ADA merupakan sesuatu yang repot bila didefinisikan,
mengingat untuk mendefinisikan suatu objek, kita butuh sesuatu yang lain
yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara YANG ADA itu adalah
obyek sekaligus juga subyek karena kita ada didalam YANG ADA.
Menurut
para filsuf, konsepsi YANG ADA sedemikian terangnya, sehingga ia persis
menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin
bisa dilihat manusia. Demikianlah YANG ADA. Begitu jelasnya YANG ADA,
maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang
secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang YANG ADA itu
sendiri.
Secara historis, tema YANG ADA menjadi tema fundamental
metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filsuf klasik sejak
Thales di era Yunani Kuno sampai Josiah Royce di era Modern. Namun harus
digarisbawahi di sini bahwa mereka masih sekadar menempatkan
problematika YANG ADA sebagai bagian dari tema-tema universalitas saja,
sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti
problematika substansi dan aksidensi, unitas dan pluralitas, dan
sebagainya.
Sejak kehadiran Mulla sadra, lahirlah mazhab filsafat
EKSISTENSIalisme dalam komunitas Muslim. Namun, EKSISTENSIalisme Sadra
sangat berbeda dengan mazhab EKSISTENSIalisme seperti Kierkegaard, Jean
Paul Sartre, atau Heidegger.
EKSISTENSIalisme Islam adalah sebuah
mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin
mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada YANG ADA SEBAGAIMANA YANG
ADA yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa
metafisika YANG ADA dalam Islam lebih bersifat teistik bahkan sufistik;
sementara aliran filsafat EKSISTENSIalisme barat sebagiannya condong
pada ATEISME.
Untuk bisa memahami metafisika YANG ADA, ada
baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Mulla Sadra tentang YANG
ADA. Konsep Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat
fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan
dengan mudah memahami teori-teori filsafatnya yang lain, baik yang
berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya. Ketiga
prinsip tersebut adalah sebagai berikut: WAHDATUL WUJUD (KESATUAN YANG
ADA), TASYKIKUL WUJUD dan ASALATUL WUJUD. Kita akan mengelaborasi ketiga
prinsip ini secara sederhana.
Secara historis, teori WAHDATUL
WUJUD pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih
bernuansa sufistik ketimbang filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan
tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin
yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa hanya TUHAN
YANG EKSIS sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang
ekstrem yang menyatakan bahwa SELURUH YANG BERWUJUD SELAIN TUHAN
HANYALAH TAJALLIYAT (MANIFESTASI) DARI ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT TUHAN.
Namun
Sadra melihat bahwa YANG ADA SEBAGAI YANG ADA meskipun SATU, namun ia
memiliki intensitas yang membentang dari yang nama YANG ADA. Sifat YANG
ADA-nya TUHAN MUTLAK, sementara yang ada lain hanya bersifat YANG ADA
DALAM KEMUNGKINAN. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari
tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar
matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. YANG HARUS ADA berbeda
dengan YANG MUNGKIN ADA.
Teori WAHDATUL WUJUD sebagai teori
tentang YANG ADA menekankan pada KESATUAN YANG ADA yang hadir pada
segala sesuatu. Tuhan MEMILIKI SIFAT YANG ADA, begitu juga dengan
manusia, benda-benda mati. Apakah YANG ADA setiap satu dari mereka
sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru ADA KARENA
ADANYA YANG LAIN. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda
antara YANG ADA-NYA TUHAN dengan YANG ADA selainnya? Lalu bagaimana
mungkin kita bisa membayangkan bahwa YANG ADA itu SATU, sementara di
dunia YANG ADA kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri
sendiri. Lalu berapa jumlah YANG ADA?
Persoalan itu dalam
metafisika dikenal dengan istilah problem antara YANG SATU DAN YANG
BANYAK. Pertama, ada yang disebut dengan istilah composite existence
dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya.
Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka YANG ADAnya pasti
akan terbatas.
Kedua, the Simple Existent, di mana jenis YANG
ADAnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah
terbatas. YANG ADA ini hanya milik TUHAN saja di mana YANG ADANYA
merupakan WUJUD-Nya itu sendiri. Simplifikasi jenis YANG ADA TUHAN ini
disebut Sadra dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa YANG ADA
yang bersifat sederhana adalah YANG ADA yang mencakup seluruh entitas
yang disebut “sesuatu”.) Karenanya mengikut formula ini, YANG ADA
manusia adalah bagian inheren dari YANG ADA TUHAN.
Prinsip
WAHDATUL -WUJUD atau KESATUAN YANG ADA dalam filsafat Sadra ini yang
melihat KESATUAN YANG ADA terbentang lebar pada segala apa yang disebut
sebagai YANG ADA INDIVIDUAL sampai YANG MUNGKIN ADA yang beraneka ragam
dan bervariasi, sehingga YANG ADA memiliki sistematisasi.
Menurut
aliran filsafat ESENSIALISME, ESENSI tak mengalami perubahan. Yang
berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih
mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan
lahir warna baru yang menggantikannya.
Sadra menolak teori ini.
Mereka melihat bahwa suatu ESENSI tidak pernah mengalami perubahan.
Suatu ESENSI bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas.
Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya
yang tetap, bahkan “putih”nya juga tetap. Jadi semua yang disebut ESENSI
memiliki kapabilitas untuk menjadi “more or less”: semua manusia bisa
jadi “lebih” atau “kurang” manusia dari manusia lain. “Manusia” dan
“kemanusiaan” Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan
kita.
Ini adalah teori “MORE PERFECT AND LESS PERFECT” yang
kemudian dimodifikasi oleh Sadra. Pertama, prinsip ambiguitas ini
dirubahnya dari ambiguitas ESENSI menjadi ambiguitas dalam EKSISTENSI.
Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan ESENSI, tapi justru
EKSISTENSInya. Kedua, teori ambiguitas EKSISTENSI ini juga terjadi
secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, EKSISTENSI
adalah sama bagi seluruh EKSISTENSI, seperti EKSISTENSI Tuhan yang wajib
dan makhluk yang mungkin, adalah sama apabila dilihat dari sisi
predikat EKSISTENSInya.
Meskipun predikat EKSISTENSI di atas sama
namun setiap EKSISTENSI tetap memiliki keunikannya tersendiri yang
memisahkannya dari yang lain. Seluruh bentuk EKSISTENSI yang lebih
tinggi pasti mengandung bentuk EKSISTENSI yang lebih rendah bahwa
EKSISTENSI yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala
EKSISTENSI yang berada di level bawahnya.
Dengan dasar prinsip di
atas KESATUAN YANG ADA terpelihara pada semua EKSISTENSI; namun
keragamannya juga terpelihara. Ketika dua prinsip di atas tak
terbantahkan secara common sense, maka lahirnya prinsip YANG ADA adalah
sesuatu yang aksiomatis. YANG ADA berarti bahwa YANG ADA adalah prinsip
dari segala wujud yang ada. Lawan darinya adalah prinsip bahwa YANG ADA
sekadar asumsi akal. Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah
lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari
teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles.
Sesuatu
memerlukan YANG ADA agar ia bisa eksis. Tanpa YANG ADA, suatu hal tidak
akan pernah bisa berEKSISTENSI, suatu YANG ADA tidak akan bisa
memperoleh partikularisasinya di dunia YANG ADA. Teori dualitas antara
YANG ADA ini kemudian ditolak secara tegas oleh pekikir Islam lain,
Suhrawardi. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai EKSISTENSI
di dunia YANG ADA adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab, apabila kita
terima teori itu, maka YANG ADA itu sendiri akan memerlukan YANG ADA
lain yang bisa memberinya EKSISTENSI; demikianlah seterusnya sehingga ia
tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinitum.
Lebih
jauh ia mengatakan bahwa suatu YANG ADA yang konkrit tiada lain adalah
sebuah fakta bahwa itu adalah YANG ADA itu sendiri. Sehingga kalimat
YANG ADA tiada lain kecuali abstraksi akal semata-mata.
Sadra
yang EKSISTENSIALIS dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan
kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah
YANG ADA, sementara ESENSI adalah abstraksi mental semata-mata. YANG ADA
bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh YANG
ADA, namun ia adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab sifat YANG ADA yang
paling fundamental yakni SEDERHANA dan berkarakter MENYEBAR ke dalam
seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai EKSISTENSI.
Dan
EKSISTENSI yang ada di hadapan kita tidak lebih pembatasan-pembatasan
yang mempartikulasikan bentangan YANG ADA itu sendiri. Ketika kita
melihat di dunia YANG ADA ini ADA, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda,
dan sebagainya, maka entitas-entitas itu “membelah” dari bentangan YANG
ADA.
Akhirnya, secara teologis, konsep YANG ADA dari Mulla Sadra
di atas mengajak kita memahami makna the ULTIMATE REALITY di mana
ADA-NYA TUHAN memiliki sifat partikular juga menyatu dalam maknanya yang
sangat unik. Meskipun WAHDATUL WUJUD atau YANG ADA ITU MENYATU namun
tidak terjebak pada teori PANTEISME, karena YANG ADA entitas-entitas
selain-Nya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah
“AKU LEBIH DEKAT DENGANMU DARIPADA DIRIMU SENDIRI.”
Wong Alus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar